Transmart Solo Pabelan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah

Transmart Solo Pabelan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah

Pentingnya Perlindungan Hukum

Mengapa perlindungan hukum penting? Tujuannya pentingnya perlindungan dan penegakan hukum tidak lain untuk memastikan subjek hukum memperoleh setiap haknya. Kemudian, apabila ada pelanggaran akan hak-hak tersebut, adanya perlindungan hukum dapat memberikan perlindungan penuh pada subjek hukum yang menjadi korban.

Upaya perlindungan hukum telah dilakukan dengan perumusan sejumlah undang-undang dan kebijakan. Akan tetapi, sejauh ini perlindungan yang diberikan belum optimal. Hal ini berkaitan dengan upaya penegakan hukumnya.

Perlindungan hukum adalah upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada. Berikut pengertian dan cara memperolehnya.

Mengapa perlindungan hukum tidak akan terwujud apabila penegakan hukum tidak dilaksanakan? Sebab, keduanya berkaitan dan tidak dapat dilepaskan. Perlindungan hukum yang diwujudkan dalam undang-undang adalah instrumen dan penegak hukum adalah langkah untuk merealisasikan instrumen tersebut.

Simanjuntak merumuskan 4 unsur perlindungan hukum. Jika unsur berikut terpenuhi, barulah upaya perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum.

1.   Adanya perlindungan dari pemerintah terhadap warganya.

2.   Jaminan kepastian hukum.

3.   Berkaitan dengan hak-hak warga negaranya.

4.   Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Macam-macam Perlindungan Hukum dan Contohnya

Di Indonesia, Perlindungan hukum diwujudkan dalam kehadiran berbagai undang-undang dan peraturan. Bentuk perlindungan atau kategorinya beragam, contoh perlindungan hukum, antara lain perlindungan hukum perdata, perlindungan hukum konsumen, perlindungan anak, dan lain sebagainya.

Secara tersirat, perlindungan hukum di Indonesia secara perdata tergambar dalam KUH Perdata. Dalam KUH Perdata, diatur perlindungan untuk korban atau pihak yang mengalami kerugian, yakni berupa ganti rugi.

Perlindungan hukum adalah upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada. Berikut pengertian dan cara memperolehnya.

Hal tersebut sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa orang yang melanggar hukum dan membawa kerugian wajib mengganti kerugian yang timbul karenanya.

Selanjutnya, perlindungan konsumen diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Arti perlindungan konsumen sebagaimana termaktub di Pasal 1 Angka 1 UU Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Dalam undang-undang ini diterangkan pula sejumlah hak dari konsumen dan kepastian hukumnya. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa seorang konsumen berhak atas delapan hak sebagai berikut.

1.   hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

2.   hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3.   hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4.   hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5.   hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6.   hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7.   hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; dan

8.   hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9.   Persoalan yang berkaitan dengan perlindungan anak diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Anakjo. UU 35/2014 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan hukum dan diskriminasi.

Siapa yang Berwenang Menyatakan Suatu Aliran Kepercayaan Sesat?

Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, pada dasarnya Pasal 1 Penetapan Presiden 1/1965 menyebutkan:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Bagi yang melanggar ketentuan di atas, akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu dalam Suatu Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Lalu, siapa yang berwenang menyimpulkan aliran kepercayaan tertentu itu sesat atau terlarang? Kewenangan ini ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Pada praktiknya, ada juga Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (“Bakor Pakem”) yang melakukan pengawasan. Sebenarnya, Bakor Pakem tersebut adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan dan Aliran Keagamaan (“Tim Pakem”) yang merupakan tim gabungan yang melakukan koordinasi pengawasan aliran kepercayaan dan aliran keagamaan dalam masyarakat.

Kemudian, dalam praktiknya, berikut adalah tugas dari Tim Pakem:

Tim Pakem terdiri atas:

Keberadaan Agama di Indonesia

Menjawab pertanyaan Anda yang ketiga, dalam Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden 1/1965 disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar 6 (enam) agama di Indonesia mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena pada dasarnya, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara.

Lantas, sebagaimana yang Anda tanyakan, apakah ilegal untuk tidak menganut agama di Indonesia? Dalam kata lain, apakah ilegal untuk tidak mengakui keberadaan Tuhan di Indonesia? Guna memperjelas pemahaman Anda, sebaiknya kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan ateisme. Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani yakni atheos, dan istilah ini selalu digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama. Ateisme secara umum merupakan pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi.

Kemudian, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia, salah satunya Pancasila. Karena Pancasila diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion. Freedom of religion tercermin dalam Sila Pertama Pancasila yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa, yang bermakna kewajiban setiap manusia di Indonesia menghormati agama dan kepercayaan orang lain, karena merupakan hak setiap orang untuk memilih, memeluk, dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara bebas tanpa mengalami gangguan dan juga tanpa mengganggu pihak lain.

Tetapi, kebebasan beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi ateisme. Hal ini sangat berbeda misalnya dengan Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun negatif.

Penggunaan Narkotika dalam Hukum

Penting untuk diketahui, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehubungan dengan hal ini, yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis.

Sedangkan yang dimaksud penggunaan narkotika untuk “pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penggunaan narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Penggunaan narkotika untuk kepentingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan ini termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak narkotika dari pihak kepolisian, bea dan cukai, dan badan narkotika nasional serta instansi lainnya.

Namun, penting untuk diketahui bahwa terdapat pengecualian. Untuk narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Demikian jawaban kami terkait penggolongan narkotika terbaru, semoga bermanfaat.

Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.

Contoh Jenis Narkotika

Jika melihat ke dalam Lampiran Permenkes 9/2022, berikut contoh jenis narkotika berdasarkan golongannya, antara lain:

1.   Narkotika golongan I: opium mentah, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, heroina, metamfetamina, dan tanaman ganja;

2.   Narkotika golongan II: ekgonina, morfin metobromida, dan morfina;

3.   Narkotika golongan III: etilmorfina, kodeina, polkodina, dan propiram.

Penggolongan Narkotika di Indonesia

Penggolongan Narkotika di Indonesia

Dalam UU Narkotika, narkotika digolongkan menjadi tiga golongan sebagai berikut. Melihat ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika, berikut ini 3 golongan narkotika:

1.   Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;

2.   Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan; dan

3.   Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Penggolongan narkotika ke dalam tiga golongan sebagaimana diterangkan dicantumkan dalam Lampiran I UU Narkotika untuk pertama kalinya. Kemudian, menjawab pertanyaan Anda, ketentuan mengenai perubahan penggolongan narkotika diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yaitu Menteri Kesehatan.

Yang dimaksud dengan “perubahan penggolongan narkotika” adalah penyesuaian penggolongan narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional.

Untuk itu, perubahan yang berlaku saat ini mengenai penggolongan narkotika dapat dilihat dalam Permenkes 9/2022. Dibandingkan penggolongan sebelumnya, ada sepuluh penambahan jenis narkotika dalam golongan 1. Dalam Permenkes 4/2021 diterangkan bahwa ada 191 narkotika yang masuk dalam kategori golongan I. Kemudian, dalam penggolongan terbaru ini jumlahnya menjadi 201 narkotika.

Penambahan sepuluh narkotika golongan I tersebut, adalah sebagai berikut.

1.   4F-MDMB-BUTICA, nama lain, 4F-MDMB-BICA, 4FBC, 4FBCA, 4F-MDMB-2201.

2.   5F-EMB-PICA, nama lain EMB-2201, 5F-EMB-2201.

3.   ADB-BUTINACA, nama lain ADB-BINACA, ADBB.

4.   4F-ABUTINACA, nama lain 4F-ABINACA, N-(4-fluorobutil) APINACA.

5.   5F-EDMB-PICA, nama lain 5F-EDMB-2201.

7.   1P-LSD, nama lain 1-propionil LSD, 1P-LAD.

8.   3-METOKSIFENSIKLIDINA nama lain 3-MeO-PCP, 3-METOKSI PCP.

10. CUMIL PEGAKLONA, nama lain SGT-151.

Pencemaran Nama Baik Lewat Media Sosial Internet

Akhir-akhir ini marak kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan Tehnologi yaitu Internet dan Media Sosial, termasuk kasus pencemaran nama baik lewat media sosial internet. Bahkan bisa dikatakan hampir setiap hari sebenarnya terjadi kasus serupa, yang hal ini disebabakan semakin bebasnya masyarakat dalam mengekpresikan pendapatnya melalui internet dalam hal ini media sosial. Salah satu kasus yang sangat sering terjadi adalah kasus penghinaan atau pencemaran nama baik lewat melalui media sosial internet.

Sebelum adanya media sosial pengaturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal-pasal KUHP sebagai berikut :

1.    Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.

2.    Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, yaitu : Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.

Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh karenanya bagia nda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.

Tinjauan Hukum tentang Judi

Bicara tentang “Judi” termasuk “Sabung Ayam” yang lebih dikenal dengan tajen selain dilarang oleh Agama, juga secara tegas dilarang oleh hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.

Hal ini disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban perjudian, pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 1974, yang di dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana judian sebagai kejahatan. Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (pasal 303 KUHP), ada yang berbentuk pelanggaran (pasal 542 KUHP) dan sebutan pasal 542 KUHP, kemudian dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU. No.7 1974 hanya mengubah ancaman hukuman pasal 303 ayat (1) KUHP dari 8 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya 90.000 rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 25 juta rupiah. Di dalam pasal 303 ayat (1)-1 Bis KUHP dan pasal 303 ayat (1)-2 Bis KUHP memperberat ancaman hukuman bagi mereka yang mempergunakan kesempatan, serta turut serta main judi, diperberat menjadi 4 tahun penjara atau denda setinggi-tingginya 10 juta rupiah dan ayat (2)-nya penjatuhan hukuman bagi mereka yang pernah dihukum penjara berjudi selama-lamanya 6 tahun atau denda setinggi-tingginya 15 juta rupiah.

Memang ironisnya sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.Perlu diketahui masyarakat bahwa Permainan Judi ( hazardspel ) mengandung unsur ; a) adanya pengharapan untuk menang, b) bersifat untung-untungan saja, c) ada insentif berupa hadiah bagi yang menang, dan d) pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan.

Dan secara hukum orang dapat dihukum dalam perjudian, ialah : 1) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai mata pencahariannya, dan juga bagi mereka yang turut campur dalam perjudian (sebagai bagian penyelenggara judi) atau juga sebagai pemain judi. Dan mengenai tempat tidak perlu ditempat umum, walaupun tersembunyi, tertutup tetap dapat dihukum ; 2) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum, disini tidak perlu atau tidak disyaratkan sebagai mata pencaharian, asal ditempat umum yang dapat dikunjungi orang banyak/umum dapat dihukum, kecuali ada izin dari pemerintah judi tersebut tidak dapat dihukum ; 3) Orang yang mata pencahariannya dari judi dapat dihukum ; 4) orang yang hanya ikut pada permainan judi yang bukan sebagai mata pencaharian juga tetap dapat dihukum. (vide, pasal 303 bis KUHP).

Kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah, tepatnya dalam pasal 1 PPRI No.9 tahun 1981 yang isi pokoknya melarang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, baik dalam bentuk judi yang diselenggarakan di “kasino”. di “keramaian” maupun dikaitkan dengan alasan lain, yang jika dikaitkan lagi dengan isi pasal 2 dari PPRI No.9 tahun 1981 yang intinya menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan PPRI No.9 tahun 1981 ini, khususnya yang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, maka ini dapat berarti pasal 303 ayat (1) dan/atau pasal 303 bis KUHP tidak berlaku lagi.

Agaknya pengaturan tentang “judi” terdapat pengaturan yang saling bertentangan, disatu pihak UU No.7 tahun 1974 Jo. pasal 303 KUHP yang mengatur tentang “judi” bisa diberi izin oleh yang berwenang, disisi lain bertentangan dengan aturan pelaksanaannya, yaitu PPRI No.9 tahun 1981, yang melarang “judi” (memberi izin) perjudian dengan segala bentuknya. Memang secara azas theory hukum, PPRI No.9 tahun 1981 tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.

Atas dasar ini Kepolisian hanya dapat menindak perjudian yang tidak memiliki izin, walaupun judi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai seluruh agama yang dianut. Guna menghindari adanya tindakan anarkisme dari kalangan ormas keagamaan terhadap maraknya praktik perjuadian yang ada, maka sudah seharusnya Pemerintah bersama DPR tanggap dan segera membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang “larangan praktik perjudian” yang lebih tegas, khususnya larangan pemberian izin judi di tempat umum atau di kota-kota dan di tempat-tempat pemukiman penduduk, agar negara kita sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana masyarakatnya yang religius tetap terjaga imagenya.

Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan Hukumnya

Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan Hukumnya

Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.

Kegiatan pinjam meminjam, atau utang piutang merupakan hal lumrah dalam sebuah kegiatan ekonomi. Utang piutang ini biasanya dituangkan dalam sebuah perjanjian antar kedua belah pihak, yang didalamnya memuat mekanisme pembayaran utang, tenor, bunga, dan langkah yang ditempuh jika salah satu pihak gagal menunaikan kewajiban (wanprestasi).

Dalam dunia bisnis, kegagalan debitur dalam membayar utang sering ditemukan ketika usaha tidak berjalan dengan baik dan mengalami kesulitan keuangan. Hal ini biasa terjadi dalam perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur (bank). Namun perjanjian utang piutang juga bisa dilakukan oleh orang pribadi dengan orang pribadi lainnya.

Bagaimana jika salah satu pihak mangkir dalam perjanjian utang piutang atau tidak mampu membayar utang sebagaimana diatur kedua belah pihak dalam perjanjian? Apakah pihak yang mangkir bisa dilaporkan ke pihak kepolisian atau dipidana?

Dikutip dalam Klinik Hukumonline dengan judul “Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang Dipidana?”, pada dasarnya tak ada ketentuan yang melarang seseorang untuk melaporkan orang yang tidak membayar utang ke pihak kepolisian. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang, namun belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Akan tetapi dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara. “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang,” demikian bunyi Pasal 19 ayat (2).

Jika merujuk Pasal 19 ayat (2), walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian terkait sengketa utang piutang, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. (Baca Juga: Tips Menghindari Pejabat Notaris dan PPAT Bodong)

Maka di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.

Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.

Untuk diketahui hukum perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam KUHPer terjemahan Prof. Subekti, perjanjian didefenisikan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.

Namun demikian dalam praktiknya, beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut.

Akan tetapi, ada pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989 yang berbunyi: “bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”

Advokat Alvin Sulaiman menjelaskan perihal kemungkinan sengketa utang piutang bisa berakhir di ranah pidana. Menurutnya, perkara perdata berupa wanpretasi dapat dilaporkan pidana dengan memenuhi beberapa unsur, yakni apabila perjanjian telah dibuat dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst). Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):

Ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah: a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum; b. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang; c. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)

“Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990,” katanya dalam artikel Klinik Hukumonline mengenai “Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?”